Gelar Sosialisasi di Gereja, Ketua DPC AAI Kota Bekasi: UU TPKS Berikan Kepastian Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Kota Bekasi (Bintang Save) - Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Kota Bekasi Arlond Sitinjak bersama Tim Pengurus Gereja Katholik St. Servatius Pondok Melati Kota Bekasi menggelar kegiatan diskusi dan sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Sabtu (27/04/2024) pagi.
Dalam kegiatan yang digelar di Aula Gereja St. Servatius Kp. Sawah Pondok Melati, Kota Bekasi tersebut, hadir sebagai narasunber Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Direktur LBH APIK Jabar Ratna Batara Munti, Kanit 3/PPA Ditipidum Bareskrim Polri AKBP Ema Rahmawati, S.I.K, dan Mitra Imadei KAJ Iswanti.
Ketua AAI Kota Bekasi Arlond Sitinjak mengatakan, tujuan dari kegiatan ini semata-mata untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Saya ingat, Undang-Undang TPKS pertama kali digagas oleh Komnas Perempuan. Kalau tidak salah tahun 2012, saat itu saya masih menjadi Kapolsek Cipondoh, Tangerang. Singkat cerita, pada tanggal 22 April 2022 undang-undang ini disahkan oleh DPR. Undang-undang ini hadir untuk melindungi korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum," katanya.
Menurut pemilik Kantor hukum Law Firm Arlon Sitinjak & Partners yang berlokasi di Jl. Mandor Demong No 34 Kota Bekasi itu, menciptakan sebuah undang-undang untuk memberikan payung hukum bagi masyarakat tidaklah mudah.
"Undang-undang TPKS adalah salah satu produk hukum terbaik, khususnya bagi kaum perempuan. Undang-undang ini merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para korban. Serta mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual," terang Arlond.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi juga mengatakan, Komnas Perempuan mempunyai mandat spesifik bagi penghapusan kekerasan pada perempuan. "Komnas Perempuan lahir dari gerakan perempuan yang didorong oleh peristiwa tragedi Mei 98. Gerakan yang meminta pertanggung jawaban negara. Ini gak boleh loh terjadi kekerasan seksual, apalagi dikonteks konflik atau pelanggaran HAM," ucapnya.
Ia juga menambahkan, tujuan diciptakannya Komnas Perempuan adalah untuk menciptakan kondusifitas dan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan kepada perempuan.
"Selain menciptakan kondusifitas dan penghapusan segala bentuk diskriminasi, juga memastikan tidak akan terjadi lagi kekerasan seksual seperti Mei 98. Belajar dari tragedi itu, bagaimana korban kekerasan seksual sangat sulit untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Maka bersama teman-teman dari LBH APIK sudah mendorong RUU Anti Perkosaan. Aduan yang masuk ke Komas Perempuan terkait perkosaan juga banyak yang tidak bisa masuk dalam sistem peradilan pidana, karena dielemen hukumnya ada masalah, subtansinya, dan struktur maupun kultur," jelas Siti Aminah.
Sementara itu, Kanit 3/PPA Ditipidum Bareskrim Polri AKBP Ema Rahmawati, S.I.K menjelaskan, apa saja yang dimaksud dengan kekerasan seksual dan bagaimana penanganannya. "Tindak pidana kekerasan seksual perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana. Ada 9 jenis tindak pidana baru, seperti pelecahan seksual fisik, non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elekronik. Untuk yang terkahir, yaitu kekerasan seksual berbasis elektronik saat ini sedang marak," jelas Ema.
"Melalui media sosial, dengan berbagai cara. Pakai foto orang lain yang ternyata malah narapidana. Banyak contoh kasus seperti itu. Jadi untuk yang aktif di media sosial harus pintar dan selalu berhati-hati. Menurut data laporan yang masuk tahun 2022-2023, paling banyak dilaporkan pihak kepolisian adalah pelecehan seksual non fisik dan pelecehan seksual fisik. Di Kepolisian ada Unit yang menangani perempuan dan anak yaitu PPA yang sudah ada dari tingkat Mabes sampai Polres," tambahnya.
Ketua Seksi Keadilan dan Perdamaian Anton Dirga mengungkapkan, kegiatan diskusi dan sosialisasi yang diselenggarakan ini bentuk kepedulian pada lingkungan sekitar, terutama di lingkungan Gereja
"Banyak pengaduan yang menjadi korban pelecehan seksual ke kami, di dalam gereja sendiri ada protokol perlindungan anak dan dewasa rentan. Dan pengembagan dari peristiwa pelecehan 40 anak altar yang terjadi dimana pelakunya rohaniawan. Belajar dari kejadian itu, Keuskupan Agung Jakarta meminta untuk membentuk protokol perlindungan anak dan dewasa rentan," ujarnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan pihak Gereja akan melakukan pencegahan dengan cara memberikan edukasi juga mensosialisasikan Undang-undang TPKS ini. "Pada prinsipnya kami bersama teman-teman berusaha untuk mengedukasi umat. Dalam artian umat ini semakin paham, dan berwawasan. Kejahatan seksual ini semakin berkembang, banyak hal yang di luar kemampuan kita. Karena itu, kegiatan seperti ini kedepannya akan dilakukan ke sekolah-sekolah internal kita. Yang pasti kami sangat berharap sekali apa yang kita lakukan menjadi pilot project, atau percontohan di tempat lain," pungkasnya. (Red)
0 Komen